Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat
Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Jeneiro Brazilia 1992, menyepakati
perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth)
menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Dalam perspektif
perusahaan, dimana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program sebagai
dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan
rekanan dari masing-masing stakeholders. Ada lima elemen sehingga konsep
keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ; (1) ketersediaan dana, (2)
misi lingkungan (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan
(masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai keuntungan (Idris,
2005).
Berbagai peristiwa negatif yang menimpa sejumlah
perusahaan, terutama setelah reformasi, seharusnya menjadi pelajaran berharga
bagi para pemilik dan manajemen perusahaan untuk memberikan perhatian dan
tanggung jawab yang lebih baik kepada masyarakat, khususnya di sekitar lokasi
perusahaan. Sebab kelangsungan suatu usaha tidak hanya ditentukan oleh tingkat
keuntungan, tapi juga tanggung jawab sosial perusahaan. Apa yang terjadi ketika
banyak perusahaan didemo, dihujat, bahkan dirusak oleh masyarakat sekitar
lokasi pabrik?
Bila ditelusuri, boleh jadi salah satu penyebabnya adalah
kurangnya perhatian dan tanggung jawab manajemen dan pemilik perusahaan
terhadap masyarakat maupun lingkungan di sekitar lokasi perusahaan. Investor
hanya mengeduk dan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di daerah
tersebut, tanpa memperhatikan faktor lingkungan. Selain itu, nyaris sedikit
atau bahkan tidak ada keuntungan perusahaan yang dikembalikan kepada masyarakat.
Justru yang banyak terjadi, masyarakat malah termarginalkan di daerah sendiri.
Kasus terbaru terjadi di Papua yang melibatkan PT
Freeport, hingga menimbuklan efek domino dan menyebabkan chaos di daerah yang
terkenal dengan potensi sumber daya alamnya tersebut. Di sekitar areal
bertambangan yang mengalirkan jutaan Dollar perhari, kehidupan masyarakat masih
hidup miskin dan nyaris tak tersentuh perhatian perusahaan. Bahkan berbagai
tindakan anarkis ditimpakan kepada mereka saat mengais sisa produksi di areal
pembuangan limbah.
Kekacauan tersebut seharusnya tidak terjadi bila
perusahaan memberikan tanggungjawab sosialnya kepada masyarakat. Sebab seperti
dikatakan mantan PM Thailand Anand Panyarachun pada Asian Forum on Coorporate
Social Responsibility, 18 September 2003 di Bangkok, “melaksanakan
praktik-praktik yang bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sosial akan
meningkatkan nilai pemegang saham, dan berdampak pada peningkatan prestasi
keuangan serta menjamin sukses yang berkelanjutan bagi perusahaan.”
Pada kenyatannya CSR tidak serta merta dipraktikkan oleh
semua perusahaan. Beberapa perusahaan yang menerapkan CSR justru dianggap sok
sosial. Ada juga yang berhasil memberikan materi riil kepada masyarakat, namun
di ruang publik nama perusahaan gagal menarik simpati orang. Tujuannya mau
berderma sembari meneguk untung citra, tetapi malah ‘buntung’. Hal ini terjadi
karena CSR dilakukan secara latah dan tidak didukung konsep yang baik.
Tujuan penulisan ini adalah untuk membuat konsep CSR yang
efektif dan efisien untuk diaplikasikan oleh perusahaan. Dengan mengumpulkan
literatur dari berbagai sumber yang sangat relevan di bidangnya, diharapkan
tulisan ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya praktisi dan peminat studi
Public Relations (PR).