BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pola dan proses dinamika pembangunan ekonomi disuatu
negara sangat ditentukan olehbanyak faktor,internal (domestik,maupun eksternal (global). Faktor-faktor internal diantaranya,
adalah kondisi fisik (termasuk iklim) ,lokasi geografi,jumlah dan kualitas SDA
dan SDM yang dimiliki, kondisi awal ekonomi, sosial dan budaya, sistem politik
serta peran pemerintah didalam ekonomi. Sedangkan,faktor faktor eksternal
diantaranya adalah perkembangan tekhnologi,kondisi perekonomian dan politik
dunia,serta keamanan global
Akan tetapi,untuk dapat memahami sepenuhnya sifat
proses dan pola pembangunan ekonomi disuatu negara serta kemajuan-kemajuan yang
telah dicapainya dalam kurun waktu tertetentu atau untuk memahami kenapa
pengalaman suatu negara dalam membangun ekonominya berbeda dengan negara
lain,maka perlu juga diketahui sejarah ekonomi dari negara itu sendiri. Sering
dikatakan bahwa keadaan perekonomian
atau orientasi pembangunan infrastruktur fisik dan sosial (seperti
pendidikan dan kesehatan) yang dilakukan,dan tingkat pembangunan yang telah
dicapai pada masa lampau,yakni pada masa penjajahan (Kolonialisme).
Akan tetapi, pengalaman yang berbeda dalam
pembangunan ekonomi di dalam kelompok LDCs itu sendiri misalnya antara
indonesia dan suriname,dua-duany a bukan jajahan Belanda,dengan
Singapura,Malaysia,India,dan Hongkong yang pernah dijajah oleh Inggris dan
sekarang lebih maju atau banyak negara di Afrika bekas jajahan negara prancis
yang hingga saat ini masih sangat terbelakang dan miskin,menimbulkan suatu
pertanyaan : apakah struktur ekonomi,sistem pemetintahan,dan rosem pembangunan
ekonomi selama masa kolonialisme memang merupakan suatu faktor berpengaruh yang
dominan terhadap pembangunan ekonomi selanjutnya pascakolonialisme? Atau apakah
Indonesia akan lebih maju dari sekarang atau akan sehebat Singapura jika
Indonesia dulu dijajah oleh Inggris,bukan Belanda ?
Dari pengalaman di Singapura, Malaysia,Hongkong
,mungkin dapat dikatakan bahwa yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan
ekonomi bukan “warisan” dari negara penjajah,melainkan orientasi politik,sistem
ekonomi serta kebijkaan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim pemetintah yang
berkuasa setelah lenyap nya kolonialisme,terutama pada tahun-tahun pertama
setelah merdeka karena tahun-tahun tersebut merupakan periode yang sangat
kritis dan sangat menentukan kelanjutan pembangunan selanjutnya. Pengalaman
indonesia sendiri menunjukkan bahwa pada zaman pemerintahan orde lama,rezim
yang berkuasa menerapkan sistem ekonomi tertutup dan lebih mengutamakan
kekuatan militer daripada kekuatan ekonomi nasional pada masa itu mengalami
stagnasi atau pembangunan praktis tidak ada.
Rumusan Masalah
1. Sejarah
ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan orde lama
2. Sejarah
ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan orde baru
3. Sejarah
ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi
4. Sejarah
ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan reformasi
5. Sejarah
ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan gotong royong
Tujuan
Agar
mahasiswa mengetahui sejarah ekonomi Indonesia secara garis besar pada lima
periode.
BAB II
Pembahasan
Pemerintahan
pada masa orde lama
Pada
tanggal 17 Agustus 1945 ,Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun
demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan
bisa memberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Pada tahun-tahun
pertama setelah kemerdekaan indonesia keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk,ekonomi
nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi[1].
Defisit saldo neraca pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat
besar,kegiatan produksi disektor pertanian dan sktor industri manufaktur
praktis terhenti. Tingkat inflasi sangat tinggi ,hingga mencapai lebih dari
500% menjelang akhir periode orde lama. Semua ini disebabkan oleh berbagai
macam faktor,yang penting ,dan diantaranya adalah pendudukan jepang,perang
dunia II,perang revolusi,manajemen ekonomi makro yang sangat jelek.
Pernah dikatakan bahwa indonesia
pernah mengalami sistem politik yang sangat demokratis. Yakni pada periode
1949-1956. Akan tetapi, sejarah Indonesia menunjukkan bahwa sistem politik
demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan pereknomian
nasional. Akibat terlalu banyaknya pastai politik yang ada dan semuanya ingin
berkuasa,sehingga menimbulkan banyak konflik antar partai. Konfik tersebut
berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikitpun kesempatan untuk membentuk
suatu kabinet yang solid yang dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya.
Pada masa politik demokrasi itu,tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur
kabinet hanya sekitar 2 tahun saja.
Selama periode 1950-an struktur ekonomi
Indonesia masih peninggalan kolonialisme. Sektor formal/modern,seperti
pertambangan,distribusi,transportasi,bank,dan pertanian yang komersi ,yang
memiliki konstribusi lebih besar daripada sektor informal/tradisional atau
output nasional atau produk domestik bruto (PDB) di dominasi oleh
perusahaan-perusahaan asing tersebut relatif lebih padat kapital dibanding
kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan beralokasi
di kota-kota besar seperti jakarta dan surabaya.
Keadaan ekonomi indonesia,terutama
setelah dilakukan nasionalisme terhadap semua perusahaan asing ditanah
air,termasuk perusahaan-perusahaan milik Belanda,ditambah lagi dengan
peningkatan laju inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada masa
pemerintahan Belanda Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup
baik dengan tingkat inflasi yang snagat rendah dan stabil.
Selain kondisi politik didalam
negeri yang tidak mendukung , buruknya perekonomian indonesia pada masa
pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan faktor-faktor produksi. Seperti orang-orang dengan tingkat
kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi,tenga kerja dengan
pendidikan / keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun
infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri) ,tekhnologi,dan kemampuan
pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik.
Menurut pengamatan higgins sejak kabinet pertama dibentuk setelah
merdeka,pemerintah indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi
dan pertumbuhan ekonomi,pembangunan industri,unfikasi[2],dan
rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut
diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu,
akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi indonesia setelah perang
tidak pernah terlaksana dengan baik.
2
Pada
masa pemerintahan orde baru
Tepatnya sejak bulan maret 1966 indonesia memasuki
pemerintahan orde baru. Berbeda dengan pemerinthan orde lama, dalam era orde
baru ini ,perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial ditanah air. Pemerintahan orde
baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh
odeologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota PBB dan lembaga-lmbga
dunia lainnya, seperti bank dunia dana moneter internasioal (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat
repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas
ekonomi,sosial,dan politik,serta rehabilitasi ekonomi dalam negeri. Sasaran
dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat
inflasi,mengurangi defisit keuangan pemerintah,dan menghidupkan kembali
kegiatan produksi,termasuk ekspor yng sempat mengalami stagnasi pada masa orde
lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana
pembangunan 5 tahun (repelita) secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai
negara-negara barat. Menjelang akhir tahun 1960-an atas kerja sama dengan bank
dunia,IMF,dan ADB ( bank pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konsorsium[3]inter-government
group on indonesia ( IGGI) Yang terdiri
atas sejumlah negara maju,termasuk negara jepang dan belanda,dengan tujuan
membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia. Boleh dikatakan bahwa pada saat itu
indonesia sangat beruntung. Dalam waktu yang relatif pendek setelah melakukan
sistem politiknya secara drastis, dari yang “pro” menjadi “anti” komunis, indoensia bisa mendapat bantuan dana
dari pihak barat. Pada saat itu memang indonesia merupakan satu-satunya negara
yang sangat anti komunis dan sedang berusaha secara serius melakukan
pembangunan ekonominya yang kelihatan jelas dimata kelompok barat. Pada saat
itu belum ada krisi hutang luar negeri ( ULN) dari kelompok LDC seperti pada tahun 1980-an,sehingga boleh dikatakan bahwa perhatian bank dunia
pada saat itu dapat diputuskan sepenuhnya kepada indonesia.
Tujuan jangka panjang dari
pembangunan ekonomi di indonesia pada masa orde baru adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses indutrialisasi dalam skala besar
yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang pling tepat dan
efektif untuk menanggulangi
masalah-masalah ekonomi,seperti kesempatab kerja dan defisit neraca pembayarn.
Dengan kepercayaan yang penuh bahwa akan ada efek “cucuran kebawah” ,pada
awalnya pemerintah memusatkan pembangunan di sektor-sektor tertentu yang secara
potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang besar dalam waktu yang tidak
panjang dan hanya dipulau jawa, karena pada saat itu fasilitas-fasilitas
infrastruktur dan SDM relatif lebih baik dibandingkan di provinsi-provinsi
lainnya diluar pulau jawa. Dengan sumber dana yang terbatas pada saat itu
dirasa sangat sulit untuk memperhatikan pertumbuhan dan pemerataan pada waktu
yang bersamaan.
Pada bulan April 1969 repelita I
(rencana pembangunan lima tahun pertama) dimulai dengan peneknan utama pada
pembangunan sektor pertanian dan industri-industri yang terkait, seperti
agroindustri. Strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi pada repelita I
terpusatkan pada pembangunan industri-industri yang dapat menghasilkan devisa
lewat ekspor dan subsitusi impor, industri-industri yang memproses bahan-bahan
baku yang tersedia di dalam negeri, industri-industri yang padat karya,
industri-industri yang mendukung pembangunan regional, dan juga
industri-industri dasar seperti pupuk, semen, kimia dasar, pulp, kertas dan
tekstil.
Sebelum pembangunan dilanjutkan pada
tahap berikutnya, yakni tinggal landas mengikuti pemikiran Rostow dalam stage
of growth-nya, selain stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan yang
menyeluruh pada tahap dasar, tujuan utama pelaksanaan repelika I adalah untuk
membuat Indonesia menjad swasembada, terutama dalam kebutuhan beras. Hal ini
dianggap sangat penting, mengingat penduduk Indonesia sangat besar, dengan
pertumbuhan rata-rata per tahun pada saat itu sekitar 2,5% dan stabilitas
politik juga sangat tergantumg pada kemampuan pemerintah menyediakan makanan
pokok bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah melakukan
program penghijauan (revolusi hijau) di sektor pertanian. Dengan dimulainya
penghijauan tersebut, sektor pertanian nasional memasuki era modrenisasi dengan
penerapan teknologi baru, khususnya dalam pengadaan sistem irigasi, pupuk, dan
tata cara menanam.
Dampak repelita I dan
repelita-repelita berikutnya terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan,
terutama dilihat pada tingkat makro. Proses pembangunan berjalan sangat cepat
dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun cukup tinggi, jauh lebih baik
daripada selama orde lama, dan juga relatif lebih tinggi daripada laju
rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok LDCs. Pada awal repelita I (1969),
PDB Indonesia tercatat 2,7 triliun rupiah pada harga berlaku atau 4,8 triliun
pada harga konstan. Pada tahun 1990 mnjadi 188,5 triliun rupiah pada harga
berlaku atau 112,4 triliun rupiah pada harga konstan. Selama periode 1969-1990,
laju pertumbuhan PDB pada harga konstan rata-rata per tahun diatas 7 %.
Perubahan ekonomi struktural juga
sangat nyata selama masa orde baru bila dilihat dari perubahan pangsa PDB,
terutama dari sektor industri manufaktur meningkat setiap tahun, dari sekitar 8%
(atas dasar harga berlaku) atau 7,5% (atas harga dasar konstan) pada tahun 1960
menjadi 12% lebih ( atas dasar harga berlaku) atau 15% lebih (atas dasar
konstan) pada tahun 1983. Meningkatnya kontribusi output dari sektor industri
manufaktur terhadap pembentukan/pertumbuhan PDB selama periode orde baru
mencerminkan adanya suatu proses industrialisasi atau transformasi ekonomi di
Indonesia, dari negara agraris ke negara semi industri.
Ini memang merupakan salah satu
perbedaan yang nyata dalam sejarah perekonomian Indonesia antara rezim orde
lama dengan rezim orde baru. Di dalam sektor industri manufaktur itu sendiri
juga terjadi pendalaman struktural. Walaupun prosesnya relatif lambat
dibandingkan dengan di negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand,
dan Malaysia tingkat diversifkasi produksi juga semakin besar dengan
dibangunnya berbagai macam industri untuk kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
Keberhasilan pembangunan ekonomi di
Indonesia pada masa orde baru tidak saja disebabkan oleh kemampuan
kabinet-kabinet yang dipimpin oleh presiden Suharto yang jauh lebih baik /
solid dibanding masa orde lama dalam menyusun dan melaksanakan rencana,
strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi, tetapi juga berkat penghasilan
ekspor yang sangat besar dari minyak, terutama pada periode krisis atau oil
boom pertama pada tahun 1973/1974. Selain minyak dan pinjaman luar negeri,
peranan PMA khususnya sejak pertengahan dekade 1980an terhadap proses
pembangunan ekonomi di Indonesia semakin besar. Boleh dikatakan bahwa kebijakan
presiden Suharto yang mengutamakan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik
serta pertumbuhan ekonomi berdasarkan sistem ekonomi terbuka membuat
kepercayaan pihak barat terhadap prospek ekonomi Indonesia sangat besar
dibandingkan dengan banyak LDCs lainnya.
Proses pembangunan dan perubahan
ekonomi semakin cepat setelah sejak paruh pertama sekade 1980-1n,pemerintah
mengeluarkan berbagai paket deregulasi
yang diwali disektor monneter / perbankan yang dan disektor riil, dengan tujuan
utama meningkatkan ekspor nonmigas indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi serta berkelanjutan. Dengan adanya deregulasi-deregulasi tersebut,sistem
perekonomian indonesia secara bertahap mengalami pergeseran dari yang sangat
tersentralisasi (pada periode 1970-an) menuju desentralisasi dan peranan sektor
swasta semakin besar.
Akan tetapi,pada tingkat meso
dan mikro,pembangunan selama ini boleh dikatakan tidak berhasilbahkan dalam
banyak aspek semakin buruk. Jumlah kemiskinan baik absolut maupun relatif masih
tinggi dan tingkat kesenjangan ekonomi semakin besar. Bahkan menjelang khir
1990-an kesenjangan cenderung meningkat. Sebagai reaksi pemerintah terhadap
kenyataan diatas, khususnya pada repelita ke VI,orientasi
kebijakan-kebijakannya mengalami perubahan dari penekanan hanya pada
pertumbuhan ke pertumbuhan dengan pemerataan. Untuk mengurangi tingkat kesenjangan
dan kemiskinan,pemerintah menjalankan berbagai macam program ,terutama di
daerah perdesaan seperti Program Impress Desa Tertinggal (IDT),program keluarga
sejahtera,dan program pembinaan usaha kecil.
Sejak masa orde lama hingga
berakhirnya masa orde baru dapat dikatakan indonesia telah mengalami dua
orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda,yakni dari ekonomi tertutup yang
berorientasi sosialis pada zaman rezim soekarno ke ekonomi terbuka berorientasi
kapitalis pada masa soeharto. Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat
kinerja ekonomi nasional pada masa orde baru menjadi lebih baik dibandingkan
pada masa pemerintahan orde lama.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa ada
beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha
membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik,yaitu sebagai berikut.
1. Kemauan
politik yang kuat
2. Stabilitas
politik dan ekonomi
3. SDM
yang lebih baik
4. Sistem
politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat
5. Kondisi
ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Tetapi
selain menghasilkan efek-efek positif,pemerintahan orde baru tetap memiliki
cacat. Biaya ekonomi yang tinggi, serta fundamentasl ekonomi yang rapuh. Hal
terakhir ini dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sektor perbankan
nasional dan semakin besarnya ketergantungan indonesia terhadap modal asing,
termasuk pinjaman dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda
krisis ekonomi besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun
1997.
Pemerintahan
Transisi
pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997,nilai tukar baht
Thailand terhadap dollar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para
investor asing mengambil keputusan “jual” karena ridak percaya lagi terhadap
prospek perekonomian negara tersebut. Sehingga apa yang terjadi di Thailand
akhirnya merembet ke Indonesia dan bebrapa nega Asia lainnya,awal dari krisis
keuangan di Asia. Sejak saat itu,posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil.
Menaggapi perkembangan itu, pada bulan juli 1997 BI melakukan 4 kali intervensi
yakni memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi,pengaruhnya tidak banyak.
Hari-hari dan bulan selanjutnya kurs rupiah terus melemah ,walaupun
sekali-sekali mengalami penguatan beberapa point.
Sekitar bulan september 1997,nilai
tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk
mencegah agar keadaan tidak tambah buruk, pemerintah orde baru mengambil
bebrapa langkah konkret,diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun
dalam upaya mengimbangi ketebatasan angggaran belanja negara yang sangat
dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut. Pada awalnya, pemerintah
berusaha untuk menangani masalah krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri.
Akan tetapi setelah menyadari bahwa merosotnya nilai rupiah terhadap dollar AS
tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri,terlebih lagi karena cadangan
dolar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi guna
menahan atau mendongkrak kembali nilai tukar rupiah,tanggal 8 oktober 1997
pemerintah indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan
keuangan dari IMF Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah thailand,filiphina,dan korea selatan.
Pada akhir bulan oktober 1997,lembaga
keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangannya pada indonesia
yang mencapai 40 miliar dollar AS,23 miliar di antaranya adalah pertahananan
lapis pertama (front-line defence). Sehari setelah pengumuman itu,seiring
dengan paket reformasi yang ditentukan IMF, pemerintah indonesia mengumumkan
pencabutan izin usaha 16 bank swasta yng dinilai tidak sehat. Ini merupakan
awal dari kehancuran perekonomian indonesia.
Paket program pemulihan ekonomi yang
disyaratkan IMF pertama kali diluncurkan pada bulan november 1997, bersama
pinjaman angsuran pertama senilai 3 miliar dolar AS. Pertama ,diharapkan bahwa
dengan disetujuinya paket tersebut oleh pemerintah indonesia, nilai rupiah akan
menguat dan stabil kembali.
Butir-butir dalam kebijaksanaan fiskal
selain penegasan tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang ( pengeluaran
pemerintah samadengan pendapatannya) , juga meliputi usaha-usaha pengurangan
pemerintah, seperti menghilangkan subsidi bbm dan listrik, membatalakan
sejumlah proyek infrastruktur besar, serta peningkatan pendapatan pemerintah.
Pemerintah
Indonesia tidak melakukan reformasai sesuai dengan kesepakatannya dengan IMF. Akhirnya, pencairan pinjaman angsuran
kedua senilai 3 miliar dolar AS yang seharusnya dilakukan pada bulan maret 1998
terpaksa di undur. Padahal, indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerja
sam sepenuhnya dengan IMF, terutama karena 2 hal berikut (Tambunan,1998).
1.
Berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korea Selatan, Filipina, dan
Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis
kepercayaan.
2.
Indonesia sangat membutuhkan dolar AS. Pada awal tahun 1998, kebutuhan itu
diperkirakan sebesar 22,4 miliar dolar AS atau rata-rata 1,9 miliar dolar AS
per bulan.
Setelah
gagal dalam pelaksanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan-perundingan
baru antara pemerintahan indonesia dengan IMF pada bulan maret 1998bdan dicapai
lagi suatu kesepakatan baru pada bulan april 1998. Hasil-hasil perundingan dan
kesepakatan dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama “Memorendum
Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan”
Secara
keseluruhan, ada lima memorendum tambahan dalam kesepakatan yang bari ini,
yakni sebagai berikut :
1. Program
stabilitasi, dengan tyjuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah
hiperinflasi.
2. Restrukturisasi
perbankan, dengan tujuan utam untuk rangka penyehatan sistem perbankan
nasional.
3. Reformasi
struktural, yang mana disepakati agenda baru yang mencangkup upaya-upaya yang
telah disepakati dalam kesepakatan pertama (15 januari 1998)
4. Penyelesaian
ULN Swasta (Corporate Debt)
5. Bantuan
untuk rakyat kecil
Pertengahan
tahun 1998 kesepakatan tentang IMF dibuat lagi memorandum tambahan tentang
kebijaksanaan ekonomi dan keuangan.tetapi, strategi meyeluruh stabilisasi dan
reformasi ekonomi adalah tetap seperti yang tercantum dalam memprandum
kebijaksanaan ekonomi dan keuangan yang ditandatangani pada tanggal 15 januari
1998.
Krisis
ekonomi akhirnya juga memunculkan krisis politikm yang diawali dengan
penembakan oleh tentara terhadap 4 mahasiswa Universitas Trisakti kemudian,
pada tanggal 14 dan 15 Mei kota jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juga dapat
dikatakan paling besar dan paling sadis yang pernah di alami Indonesia setelah
kedua pristiwa tersebut gerakan mahasiswa yang sebelumya sudah berlangsung
semakin gencar.
Pada
awalnya pemerintah yang dipimpin oleh Habibi disebut pemerintah reformasi.akan
tetapi setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya
pemerintah baru ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Mereka juga
prang-orang rezim orde baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata
bahkan korupsi dan nepotisme (KKN) semakin menjadi-jadi, kerusuhan muncul di
mana-mana, dan masalh soeharto tidak terselesaikan. Akhirnya,banyak kalangan
masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan transisi daripada pemerintahan
reformasi.
Pada
masa pemerintahan reformasi
Pada pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilihan
umum,yang akhirnya dimenangi oleh partai demokrasi Indonesia prjuangan (PDI-P)
dan golkar pada posisi kedua. KH Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden
keempat dan megawati adalah wakilnya. Tanggal 20 Oktober menjadi akhir dari
pemerintahan transisi,dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering disebut
juga pemerintahan reformasi.
Pada awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh
presiden Gus Dur masyarakat umum dan kalangan pengusaha serta investor,termasuk
investor asing, menaruh harapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan gus
dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua
permaslahan yang ada didalam negeri warisan rezim orde baru, seperti
KKN,supremasi hukum,HAM,penembakan tragedi trisakti,semanggi I dan II,peranan
abri didalam politik dan masalah disintegrasi.
Dalam hal ekonomi, dibanding tahun sebelum nya
(1999), kondisi perekonomian indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju
pertumbuhan PDB
mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan
perekonomian Indonesia juh lebih baik lagi,dengan laju pertumbuhan hampir
mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI)
juga rendah, mencerminkan bahwa kondisi mneter didalam negeri sudah mulai
stabil.
Gus Dur mulai menunjukan sikap dan mengeluarkan
ucapan-ucapan yang kontroversial dan membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gus
Dur cenderung bersifat diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin
intensif, dengan hal itu menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya
adalah dikeluarkannya peringatan resmi kepada Gus Dur lewat memorandum I dan
II. Dengan itu Gus Dur terancam akan diturunkan jabatannya, jika usulan
percepatan sidang istimewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan gusdur, tidak ada satupun
masalah di dalam negeri yang terselesaikan dengan baik. Bergabai kerusuhan
sosial terus berlanjut. Belu lagi demonstrasi buruh semakin genjar yang
mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di
dalam negeri, juga pertikaian elite politik juga semakin besar. Selain itu,
hubungan pemerintah dengan IMF tidak baik.
Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak
mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil
dari tahun sebelumnya. Gus Dur dan kabinetnya tidak menunjukkan keinginan
politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas
dengan prinsi “once and for all”. Pemerintah Gus Dur cenderung menyederhanakan
krisis ekonomi hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU BI, masalah
desentralisasi fiskal, masalah restrukturisasi hutang, dan masalah divestasi
BCA dan bank Niaga.
Fenomena rumitnya persoalan ekonomi, ditunjukkan
oleh beberapa indikator ekonomi misalnya, pergerakan indeks harga saham
gabungan atau (IHSG) antara 30 maret 2000 hingga 8 maret 2001 menunjukkan tren
ekonomi yang negatif. Indikator kedua, adalah pergerkan nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara
agresif terus melakukan interfensi pemerintah. Namun, pada 12 maret 2001 ketika
Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Gus Dur mundur, nilai
tukar rupiah semakin merosot. Pada bulan april 2001, sempat menyentuh Rp.
12.000/ $ AS yang merupakan kurs rupiah terendah. Berdampak negatif terhadap
roda perekonomian terutama karena dua hal. Pertama, karena perekonomian
Indonesia masih tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan
pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua, ULM
Indonesia dalam nilai $ AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat
besar. Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang di prediksi dapat
menembus dua digit dan cadangan devisa yang padat minggu terakhir maret 2002
menurun dari 29 Milliar $ AS menjadi 28,875 $ AS
5
Pada
masa pemerintahan gotong royong
Setelah presiden Wahid turun, Megawati menjadi
presiden yang kelima. Pemerintahan Megawati mewarisi perekonomian Indonesia
yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gus Dur. Keterpurukan kondisi
ekonomi yang ditinggal Wahid kian terasa jika dilihat dari, perkembangan Indikator
lainnya, seperti tingkat suku bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan
devisit APBN.
Inflasi yang dihadapi kabinet gotong royong juga
sangat berat. Pada tahun 2002 kondisi perekonomian Indonesia sedikit lenih baik
daripada tahun 2001, walaupun menjelang akhir 2002 Indonesia digoncang bom
Bali. Menurut data BPS yang dikeluarkan pada bulan Februari tahun 2003,
pertumbuhan PDB pada tahun 2002 sebesar 3,66%, diatas nilai perkiraan minimum
yakni 3,3%, tetapi lebih rendah dari asumsi dalam APBN tahun 2002 yang di
revisi menjadi 4% setelah tragedi Bali.
Remdahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa
pemerintahan Megawati disebabkan antara lain, oleh masih kurang berkembangnya
investasi swasta, baik dari dalam negeri (PMDN) maupun luar negeri (PMA). Masih
lemahnya investasi terutama disebabkan oleh masih tidak stabilnya kondisi
politik dan sosial dan masih belum adanya kepastian hukum di dalam negeri.
Kondisi seperti ini membuat para investor dalam negeri menunda keinginanya
menanam modalnya di dalam negeri, sementara investor asing mengalihkan modalnya
ke negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Cina.
Terlebih lagi dengan masuknya Cina sebagai anggota WTO akan lebih banyak
menarik investor asing.
Dilihat secara sektoral, pada tahun 2001 hampir
semua sektor ekonomi mengalami laju pertumbuhan output yang rendah, sedangkan
kondisinya pada tahun 2002 berbeda. Menurut laporan BPS (dikutip dari Kompas,
sabtu 16 November 2002) pada triwulan II-2002, hanya satu sektor yang outputnya
mengalami pertumbuhan negatif dibandingkan triwulan I-2002 yakni pertambangan
dan penggalian dengan -2,62%, sedangkan output di sektor-sektor ekonomi lainnya
meningkat dengan laju yang bervariasi: sektor pertanian mencapai 1,62%, sektor
listrik, gas, dan air bersih 3,25%, sektor bangunan 0,98%, sektor perdagangan,
hotel, dan restoran 0,78% dan sektor keuangan, penyewaan dan jasa perusahaan
tumbuh 0,59%.
Secara kumulatif, secara semester pertama 2002,
output di sektor pertanian tmbuh 2,34%, sektor industri pengolahan 3,12%,
sektor listrik, gas, dan air bersih 6,25%, sektor bangunan 2,02% dan output di
sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh 3,55%. Pada triwulan III sektor
mengalami pertumbuhan positif (tidak ada data untuk pertambangan), dan laporan
terakhir dari BPS (dikeluarkan pada bulan Februari 2003) menunjukkan bahwa
sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan, serta sektor listrik, gas dan air bersih tumbuh cukup besar selama
tahun 2002.
Dalam hal ekspor, sejak 2000 nilai ekspor non migas
Indonesia terus menurun, dari 62,1 Milliar dollar AS (hingga september).
Pertumbuhan ekspor barang dan jasa pada triwulan III-2002 hanya sekitar 1,61%
dibandingkan triwulan III-2001. Untuk keseluruhan 2002, data terakhir dari BPS
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor barang dan jasa Indonesia sangat kecil,
hanya 1,24%. Selama ini Indonesia memang belum merupakan salah satu negara
eksportir dunia.
Posisi Indonesia dalam perdagangan duniah jauh di
bawah, misalnya Cina, Korea selatan, dan Malaysia. Tahun 2000, pangsa pasar
dunia dari ketiga negara tersebut masing-masing 3,9%, 2,7% dan 1,5%, sedangkan
ekspor Indonesia hanya menguasai 1,0% pasar dunia. Di pasar Asia, pangsa
Indonesia tahun 1999 sekitar 3,5%, dibandingkan Cina 14,0%, Korea Selatan
10,4%, Singapura 8,2%, Malaysia 6,1% dan Thailand 4,2%. Tahun 2001 diperkirakan
pasar saham Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti, bahkan merosot.
Melihat indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah,
memang kondisi perekonomian Indonesia pada tahun kedua pemerintahan Megawati
lebih baik. Kurs tengah rupiah terhadap dollar AS hingga Oktober 2002 mengalami
sedikit perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun masih lebih buruk
dibandingkan 1998 atau 1999. Memperkuat atau menjaga stabilitas rupiah pada
tingkat yang tepat emamng masih akan merupakan salah satu pekerjaan rumah yang
tidak gampang bagi pemerintah pada tahun 2003 ini.
Indonesia akan terus mengalami kesulitan dalam
mempercepat proses pemulihan. Alasannya sederhana, di satu sisi melemahnya
nilai tukar rupiah ternyata tidak terlalu berarti bagi peningkatan ekspor non
migas Indonesia, sedangkan disisi lain, biaya pembangunan (dalam rupiah) akan
semakin mahal yang disebabkan oleh masih tingginya tingkat ketergantungan
kegiatan-kegiatan perekonomian nasional terhadap impor dan ULN.
Akan tetapi, tingkat inflasi tahun 2002 sudah
mencapai diatas 10% (dua digit). Akibat kenaikan hatga bahan bakar minyak (BBM)
dan tarif nelfon serta listrik yang sempat diberlakukan pada awal tahun 2003,
tingkat inflasi pada tahun 2003, terutama pada bulan-bulan pertama, bisa jauh
lebih tinggi dari 10%. Pemerintahan Megawati memang menyadari bahaya yang akan
muncul apabila kenaikan inflasi tidak bisa dicegah. Hal itu juga tercerminkan
oleh kebijakan dari BI yang menetapkan inflation targeting sebagai tujuan utama
dari kebijakan moneternya dalam tahun 2003.
Berbeda dengan pergerakan indeks harga konsumen
(HK), tingkat suku bunga tahun 2002 cenderung menurun, walaupun masih tinggi
dibandingkan 1999. Memang tidak gampang menjawab pertanyaan, mana yang lebih baik
bagi Indonesia dalam kondisi sekarang ini, tingkat suku bunga rendah atau
tinggi. Jelas, setiap pilihan ada untung-ruginya, dan ada efeknya bisa jangka
pendek atau jangka panjang. Tingkat suku bunga tinggi, di satu pihak memang
bisa menambah jumlah tabungan nasional plus peningkatan arus modal asing masuk
Indonesia (ceteris paribus), namun di sisi lain, bisa menimbulkan efek
“crowding-out” terhadap kegiatan investasi, pada gilirannya bisa berdampak
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
IHSG juga cenderung menurun sejak 1999, yang bisa
mencerminkan dua hal. Pertama, bisa berarti kurang menariknya perekonomian
Indonesia bagi investor-investor atau reaksi sementara terhadap
kejadian-kejadian yang cukup membuat para investor ketakutan untuk menanam uang
mereka di pasar modal. Kemungkinan pertama tersebut jelas bersifat jangka
panjang, sedangkan sikap menahan atau melakukan aksi jual di pasar modal karena
adanya kejadian-kejadian, seperti tragedi Bali adalah merupakan suatu gejala
jangka pendek (temporary shock).
Kedua, menurun atau rendahnya IHSG juga bisa
disebabkan oleh tingginya suku bunga
deposito sehingga menarik lebih banyak modal masyarakat ke sektor perbankan
daripada ke pasar modal. Akan tetapi, data dari BEJ tidak mendukung hipotesis
kedua ini, yakni perkembangan pasar modal di Indonesia masih lemah atau semakin
memburuk tahun 2002 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Karena, kenyataannya
adalah bahwa penghimpunan dana publik melaui pasar modal tahun 2002 meningkat
cukup signifikan dibanding 2001.
Dalam hal perbankan, dapat dikatakan bahwa sektor
perbankan merupakan faktor penghambat terbesar terhadap proses pemulihan
ekonomi Indonesia sejak krisis tahun 1997, termasuk pada masa pemerintahan
Gotong Royong. Berdasarkn survei yang dilakukan oleh lembaga Political and
Economy Consultancy Ltd. (PERC) terhadap perbankan di 14 negara dia Asia
Pasifik tahun 2002 (yang dipublikasikan awal Mei 2002), perbankan Indonesia
berada di urutan terendah dalam hal standar dan kualitas, dengan indeks 2,06
sedangkan teratas adalah AS dengan indeks 9,3.
Sedangkan menurut lembaga sekuritas Merril Lynch
yang juga melakukan survei perbankan di sejumlah negara di Asia sama (yakni
India, Hong Kong, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan,
Taiwan, dan Thailand) pada tahun yang sama, perbankan Indonesia yang masih
buruk, tetapi tidak palingrawan jika dibandingkan peningkatan peningkatan aset
tertimbang menurut jenis resiko, terutama dengan mulai pulihnya aktivitas
penyaluran kredit perbankan di kawasan yang disurvei.
Bagaimana prospek ekonomi Indonesia tahun 2003 di
bawah pemerintahan Megawati? Sudah banyak lembaga-lembaga penelitian, keuangan,
dan lainnya, baik di dalam negeri (seperti BPS, LP3E-Kadin Indonesia, dan BI)
maupun di luar negeri (Bank Dunia, IMF, dan ADB) yang membuat perkiraan ekonomi
Indonesia tahun 2003. ADBdalam publikasi ADO 2002 bulan April 2002
memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2003 hanya sekitar 3,6%,
sedangkan laju pertumbuhan di negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti
Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam
diperkirakan masing-masing 6,1%; 6,1%; 5,8%; 4,5%; 6,5%; 3,0%; dan 6,8%. Namun,
dalam publikasi ADO 2002 update bulan sepetember 2002, pertumbuhan ekonomi
Indonesia diprediksi lebih baik, yakni 4,4%.
Perkiraan yang lebih optimis ini didasarkan pada
tanda-tanda membaiknya pasar global selama pertengah tahun 2002 dan konsumsi
dalam negeri (swasta dan pemerintah) yang cenderung meningkat terus. Dalam
laporan yang direvisi ini, ekspor Indonesia pada tahu 2003 diperkirakan akan terus membaik,
terutama karena harga minyak di pasar Internasional diperkirakan akan lebih
tinggi dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Tentu perkiraan optimistik ADB
ini belum memperhitungkan dampak dari tragedi Bali seeta pasca perang Irak atau
krisis Korea jika memburuk.
Sedangkan menurut perkiraan IMF, pertumbuhan PDB
rill Indonesia tahun 2003 cukup optimis, yakni sebesar 4,5% (naik dari
perkiraan sebelumnya pada tahu 2002 sebesar 3,5%). Namun, dibandingkan
negara-negara nlainnya di Asia, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak
termasuk yang paling tinggi.
Dari pihak Indonesia, pemerintah sendiri menargetkan
4%, setelah direvisi dari target semula 5% dalam rencana APBN (RAPBN) 2003,
setelah bom Bali. Menurut BPS, pada triwulan I dan II tahun 2003 dampak peledakan bom din Bali masih akan
terasa. Namun, kalau pemerintah melakukan banyak stimulus (termasuk penambahan
anggaran pembangunan dalam RAPBN 2003 pasca bom Bali) untuk meningkatkan
kegiatan-kegiatan ekonomi domestik dan ekspor ditambah lagi dengan situasi
dalam negeri bisa benar-benar kondusif, aman, dan ada kepastian hukum/ usaha
yang membuat iklim investasi baik dan lingkungan eksternal mendukung
sepenuhnya, maka bukan tidak mungkin target disebut bisa tercapai.
BPS sendiri memprediksi perekonomian Indonesia tahun
2003 bisa tumbuh antara 4%-5%. Sedangkan, BI memprediksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia tahun 2003 akan sekitar 3,8% sampai 4,3% dengan memperhitungkan
dampak pasca bom Bali, dan IBII (2002) memprediksi pertumbuhan PDB rill
Indonesia tahun 2003 tidak lebih dari 4%, yang terutaama dikarenakan
pertumbuhan konsumsi pemerintah yang diperkirakan paling tinggi diantara
komponen-komponen permintaan agregat.
Daftar Pustaka
Tambunan T.H,2003,perekonomian
indonesia beberapa masalah penting,jakarta,ghalia Indonesia
Booth
anne,McCawley Peter,1990,ekonomi orde baru,petaling jaya selangor
Malaysia,lembaga penelitian pendidikan dan penerangan ekonomi dan sosial
Lindblad J
thomas,2002,fondasi historis ekonomi Indonesia,Yogyakarta,pusat studi sosial
asia tenggara UGM