Lampu Colok adalah tradisi Melayu Lama, terutama masyarakat Melayu pesisir, Tradisi ini bermula ketika pada masa
dahulu, pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, masjid atau mushola
akan semakin ramai dipenuhi oleh masyarakat.
Sejarah Lampu Colok di Riau.
-Lampu colok merupakan tradisi nenek moyang Pekanbaru untuk
menunjukkan kegembiraan menyambut malam 27 Ramadan, yang dipercaya
sebagai malam datangnya Lailatul Qadar (malam yang lebih baik dari
seribu bulan). Tradisi ini sudah ada sejak Pekanbaru masih berada di
bawah pemerintahan kerajaan Siak Inderapura, dan Pekanbaru belum seramai
sekarang.
Tradisi ini terus diwarisi anak cucu dan menjadi
pemeriah setiap Ramadan tiba. Lampu colok digunakan sebagai penerang
jalan dan pekarangan rumah, karena ketika itu belum ada listrik sebagai
penerang, sehingga saat itu jalan menuju pusat kampung dan jalan menuju
masjid dihiasi lampu colok, ketika malam 27 Ramadan tiba.
Di luar
bulan Ramadan, selain penerang jalan dan pekarangan rumah dan menyambut
malam 27 Ramadan, juga digunakan sebagai penerang oleh orang perorang
dalam perjalanan dari rumahnya menuju pusat kampung dan masjid. Sejalan
berjalannya waktu, ini pun berkembang menjadi senter memakai batray, dan
sekarang sudah berkembang pula menjadi senter yang bisa dicas dengan
listrik.
Penerapan tradisi ini semasa dulunya sudah melekat di
hati masyarakat. Ketika Ramadan tiba, mereka sudah mempersiapkan lampu
colok ini. Sebelum minyak tanah, lampu colok dibuat dari damar (karet
yang diikatkan ke kayu sedemikian rupa). Sejalan berjalannya waktu,
kemudian lampu colok dibuat dari bambu dengan bahan bakar minyak tanah.
Saat
listrik sudah masuk ke rumah-rumah, tradisi ini mulai ditinggalkan oleh
mereka yang rumahnya sudah dialiri listrik. Sampai tahun 1990-an,
tradisi ini hanya terlihat di beberapa rumah saja. Maka saat itu
pemasangan lampu colok di rumah masyarakat ketika sudah di serukan
pemerintah untuk memasangnya.
Pada tahun 1990-an itu juga,
pemerintah mulai memperlombakan lampu colok ini. Perlombaan barulah
antar kampung atau sekarang disebut Rukun Tetangga (RT). Sejalan
berjalannya waktu, supaya tradisi ini tidak dilupakan masyarakat, maka
diakhir tahun 1990-an diadakanlah kegiatan serimonial perlombaan.
Pada
tahun 2000-an, lampu colok ini dijadikan agenda rutin pemerintah, dan
digelar dalam sebuah acara Festival Lampu Colok. Kemudian, Festival
Lampu Colok ini dimasukan sebagai salah satu iven budaya dan pariwisata.
Makna
dari festival ini, sebagai bentuk rasa terima kasih kepada nenek
moyang, dan rasa syukur kepada Allah SWT atas karunianya di bulan
Ramadan. Sekaligus kegembiraan menyambut Lailatul Qadar dan Idul Fitri.