Sejarah Ekonomi Indonesia



Tugas Kelompok                                                              Dosen Pengampu
   Sistem Ekonomi Indonesia                                                  Darnilawati,SE               



Sejarah Ekonomi Indonesia

Disusun oleh:


1.      Fadilla Balqis
2.      Fandy Ahmad A
3.      Muhammad Obby Yusuf
4.      Yolanda Yunia






PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SULTAN SYARIF QASIM RIAU
PEKANBARU 2014



Kata Pengantar

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam senantiasa kita ucapkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah membawa agama Islam serta Alquran sebagai mukjizat bagi manusia.
 Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuan mengenai sejarah ekonomi indonesia. Makalah  ini disusun oleh penulis dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penulis maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah  ini dapat terselesaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi Para Mahasiswa dan Umum Khususnya pada diri penulis  dan semua yang membaca teks ini, dan  mudah-mudahan juga  dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca . Walaupun teks ini memiliki kelebihan dan kekurangan penulis mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.

Pekanbaru,   Juni 2014

Penulis 









Daftar Isi

Halaman Judul            ............................................................................        i
Kata Pengantar           ............................................................................        ii
Daftar Isi         ........................................................................................        iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang            ....................................................        1
1.2              Rumusan Masalah       ....................................................        2
1.3              Tujuan                         ...................................................         2
BAB II PEMBAHASAN
2.1       pada masa orde lama               .........................................       3
2.2       pada masa orde baru               .........................................       4
2.3       pada masa transisi                   .........................................       7         
2.4       pada masa reformasi               .........................................       9
2.5       pada masa gotong royong       .........................................       11

DAFTAR PUSTAKA                        ................................................................        15




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pola dan proses dinamika pembangunan ekonomi disuatu negara sangat ditentukan olehbanyak faktor,internal (domestik,maupun eksternal  (global). Faktor-faktor internal diantaranya, adalah kondisi fisik (termasuk iklim) ,lokasi geografi,jumlah dan kualitas SDA dan SDM yang dimiliki, kondisi awal ekonomi, sosial dan budaya, sistem politik serta peran pemerintah didalam ekonomi. Sedangkan,faktor faktor eksternal diantaranya adalah perkembangan tekhnologi,kondisi perekonomian dan politik dunia,serta keamanan global
Akan tetapi,untuk dapat memahami sepenuhnya sifat proses dan pola pembangunan ekonomi disuatu negara serta kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam kurun waktu tertetentu atau untuk memahami kenapa pengalaman suatu negara dalam membangun ekonominya berbeda dengan negara lain,maka perlu juga diketahui sejarah ekonomi dari negara itu sendiri. Sering dikatakan bahwa keadaan perekonomian  atau orientasi pembangunan infrastruktur fisik dan sosial (seperti pendidikan dan kesehatan) yang dilakukan,dan tingkat pembangunan yang telah dicapai pada masa lampau,yakni pada masa penjajahan (Kolonialisme).
Akan tetapi, pengalaman yang berbeda dalam pembangunan ekonomi di dalam kelompok LDCs itu sendiri misalnya antara indonesia dan suriname,dua-duany a bukan jajahan Belanda,dengan Singapura,Malaysia,India,dan Hongkong yang pernah dijajah oleh Inggris dan sekarang lebih maju atau banyak negara di Afrika bekas jajahan negara prancis yang hingga saat ini masih sangat terbelakang dan miskin,menimbulkan suatu pertanyaan : apakah struktur ekonomi,sistem pemetintahan,dan rosem pembangunan ekonomi selama masa kolonialisme memang merupakan suatu faktor berpengaruh yang dominan terhadap pembangunan ekonomi selanjutnya pascakolonialisme? Atau apakah Indonesia akan lebih maju dari sekarang atau akan sehebat Singapura jika Indonesia dulu dijajah oleh Inggris,bukan Belanda ?
Dari pengalaman di Singapura, Malaysia,Hongkong ,mungkin dapat dikatakan bahwa yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi bukan “warisan” dari negara penjajah,melainkan orientasi politik,sistem ekonomi serta kebijkaan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim pemetintah yang berkuasa setelah lenyap nya kolonialisme,terutama pada tahun-tahun pertama setelah merdeka karena tahun-tahun tersebut merupakan periode yang sangat kritis dan sangat menentukan kelanjutan pembangunan selanjutnya. Pengalaman indonesia sendiri menunjukkan bahwa pada zaman pemerintahan orde lama,rezim yang berkuasa menerapkan sistem ekonomi tertutup dan lebih mengutamakan kekuatan militer daripada kekuatan ekonomi nasional pada masa itu mengalami stagnasi atau pembangunan praktis tidak ada.


1.2  Rumusan Masalah
1.      Sejarah ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan orde lama
2.      Sejarah ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan orde baru
3.      Sejarah ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi
4.      Sejarah ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan reformasi
5.      Sejarah ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan gotong royong

1.3  Tujuan
Agar mahasiswa mengetahui sejarah ekonomi Indonesia secara garis besar pada lima periode.


BAB II
Pembahasan

1.      Pemerintahan pada masa orde lama
Pada tanggal 17 Agustus 1945 ,Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa memberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Pada tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan indonesia keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk,ekonomi nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi[1]. Defisit saldo neraca pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar,kegiatan produksi disektor pertanian dan sktor industri manufaktur praktis terhenti. Tingkat inflasi sangat tinggi ,hingga mencapai lebih dari 500% menjelang akhir periode orde lama. Semua ini disebabkan oleh berbagai macam faktor,yang penting ,dan diantaranya adalah pendudukan jepang,perang dunia II,perang revolusi,manajemen ekonomi makro yang sangat jelek.
            Pernah dikatakan bahwa indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat demokratis. Yakni pada periode 1949-1956. Akan tetapi, sejarah Indonesia menunjukkan bahwa sistem politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan pereknomian nasional. Akibat terlalu banyaknya pastai politik yang ada dan semuanya ingin berkuasa,sehingga menimbulkan banyak konflik antar partai. Konfik tersebut berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikitpun kesempatan untuk membentuk suatu kabinet yang solid yang dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya. Pada masa politik demokrasi itu,tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur kabinet hanya sekitar 2 tahun saja.
            Selama periode 1950-an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan kolonialisme. Sektor formal/modern,seperti pertambangan,distribusi,transportasi,bank,dan pertanian yang komersi ,yang memiliki konstribusi lebih besar daripada sektor informal/tradisional atau output  nasional atau produk domestik  bruto (PDB) di dominasi oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut relatif lebih padat kapital dibanding kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan beralokasi di kota-kota besar seperti jakarta dan surabaya.
            Keadaan ekonomi indonesia,terutama setelah dilakukan nasionalisme terhadap semua perusahaan asing ditanah air,termasuk perusahaan-perusahaan milik Belanda,ditambah lagi dengan peningkatan laju inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang snagat rendah dan stabil.
            Selain kondisi politik didalam negeri yang tidak mendukung , buruknya perekonomian indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan faktor-faktor  produksi. Seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi,tenga kerja dengan pendidikan / keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri) ,tekhnologi,dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan higgins sejak kabinet pertama dibentuk setelah merdeka,pemerintah indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi,pembangunan industri,unfikasi[2],dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi indonesia setelah perang tidak pernah terlaksana dengan baik.
2.      Pada masa pemerintahan orde baru
Tepatnya sejak bulan maret 1966 indonesia memasuki pemerintahan orde baru. Berbeda dengan pemerinthan orde lama, dalam era orde baru ini ,perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial ditanah air. Pemerintahan orde baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh odeologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota PBB dan lembaga-lmbga dunia lainnya, seperti bank dunia dana moneter internasioal (IMF).
            Sebelum rencana pembangunan lewat repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi,sosial,dan politik,serta rehabilitasi ekonomi dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi,mengurangi defisit keuangan pemerintah,dan menghidupkan kembali kegiatan produksi,termasuk ekspor yng sempat mengalami stagnasi pada masa orde lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan 5 tahun (repelita) secara bertahap dengan  target-target yang jelas sangat dihargai negara-negara barat. Menjelang akhir tahun 1960-an atas kerja sama dengan bank dunia,IMF,dan ADB ( bank pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konsorsium[3]inter-government group on indonesia ( IGGI)  Yang terdiri atas sejumlah negara maju,termasuk negara jepang dan belanda,dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia. Boleh dikatakan bahwa pada saat itu indonesia sangat beruntung. Dalam waktu yang relatif pendek setelah melakukan sistem politiknya secara drastis, dari yang “pro” menjadi “anti”  komunis, indoensia bisa mendapat bantuan dana dari pihak barat. Pada saat itu memang indonesia merupakan satu-satunya negara yang sangat anti komunis dan sedang berusaha secara serius melakukan pembangunan ekonominya yang kelihatan jelas dimata kelompok barat. Pada saat itu belum ada krisi hutang luar negeri ( ULN) dari kelompok LDCs[4] seperti pada tahun 1980-an,sehingga boleh dikatakan bahwa perhatian bank dunia pada saat itu dapat diputuskan sepenuhnya kepada indonesia.
            Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di indonesia pada masa orde baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses indutrialisasi dalam skala besar yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang pling tepat dan efektif  untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi,seperti kesempatab kerja dan defisit neraca pembayarn. Dengan kepercayaan yang penuh bahwa akan ada efek “cucuran kebawah” ,pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan di sektor-sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang besar dalam waktu yang tidak panjang dan hanya dipulau jawa, karena pada saat itu fasilitas-fasilitas infrastruktur dan SDM relatif lebih baik dibandingkan di provinsi-provinsi lainnya diluar pulau jawa. Dengan sumber dana yang terbatas pada saat itu dirasa sangat sulit untuk memperhatikan pertumbuhan dan pemerataan pada waktu yang bersamaan.
            Pada bulan April 1969 repelita I (rencana pembangunan lima tahun pertama) dimulai dengan peneknan utama pada pembangunan sektor pertanian dan industri-industri yang terkait, seperti agroindustri. Strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi pada repelita I terpusatkan pada pembangunan industri-industri yang dapat menghasilkan devisa lewat ekspor dan subsitusi impor, industri-industri yang memproses bahan-bahan baku yang tersedia di dalam negeri, industri-industri yang padat karya, industri-industri yang mendukung pembangunan regional, dan juga industri-industri dasar seperti pupuk, semen, kimia dasar, pulp, kertas dan tekstil.
            Sebelum pembangunan dilanjutkan pada tahap berikutnya, yakni tinggal landas mengikuti pemikiran Rostow dalam stage of growth-nya, selain stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan yang menyeluruh pada tahap dasar, tujuan utama pelaksanaan repelika I adalah untuk membuat Indonesia menjad swasembada, terutama dalam kebutuhan beras. Hal ini dianggap sangat penting, mengingat penduduk Indonesia sangat besar, dengan pertumbuhan rata-rata per tahun pada saat itu sekitar 2,5% dan stabilitas politik juga sangat tergantumg pada kemampuan pemerintah menyediakan makanan pokok bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah melakukan program penghijauan (revolusi hijau) di sektor pertanian. Dengan dimulainya penghijauan tersebut, sektor pertanian nasional memasuki era modrenisasi dengan penerapan teknologi baru, khususnya dalam pengadaan sistem irigasi, pupuk, dan tata cara menanam.
            Dampak repelita I dan repelita-repelita berikutnya terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan, terutama dilihat pada tingkat makro. Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun cukup tinggi, jauh lebih baik daripada selama orde lama, dan juga relatif lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok LDCs. Pada awal repelita I (1969), PDB Indonesia tercatat 2,7 triliun rupiah pada harga berlaku atau 4,8 triliun pada harga konstan. Pada tahun 1990 mnjadi 188,5 triliun rupiah pada harga berlaku atau 112,4 triliun rupiah pada harga konstan. Selama periode 1969-1990, laju pertumbuhan PDB pada harga konstan rata-rata per tahun diatas 7 %.
            Perubahan ekonomi struktural juga sangat nyata selama masa orde baru bila dilihat dari perubahan pangsa PDB, terutama dari sektor industri manufaktur meningkat setiap tahun, dari sekitar 8% (atas dasar harga berlaku) atau 7,5% (atas harga dasar konstan) pada tahun 1960 menjadi 12% lebih ( atas dasar harga berlaku) atau 15% lebih (atas dasar konstan) pada tahun 1983. Meningkatnya kontribusi output dari sektor industri manufaktur terhadap pembentukan/pertumbuhan PDB selama periode orde baru mencerminkan adanya suatu proses industrialisasi atau transformasi ekonomi di Indonesia, dari negara agraris ke negara semi industri.
            Ini memang merupakan salah satu perbedaan yang nyata dalam sejarah perekonomian Indonesia antara rezim orde lama dengan rezim orde baru. Di dalam sektor industri manufaktur itu sendiri juga terjadi pendalaman struktural. Walaupun prosesnya relatif lambat dibandingkan dengan di negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand, dan Malaysia tingkat diversifkasi produksi juga semakin besar dengan dibangunnya berbagai macam industri untuk kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
            Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa orde baru tidak saja disebabkan oleh kemampuan kabinet-kabinet yang dipimpin oleh presiden Suharto yang jauh lebih baik / solid dibanding masa orde lama dalam menyusun dan melaksanakan rencana, strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi, tetapi juga berkat penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak, terutama pada periode krisis atau oil boom pertama pada tahun 1973/1974. Selain minyak dan pinjaman luar negeri, peranan PMA khususnya sejak pertengahan dekade 1980an terhadap proses pembangunan ekonomi di Indonesia semakin besar. Boleh dikatakan bahwa kebijakan presiden Suharto yang mengutamakan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta pertumbuhan ekonomi berdasarkan sistem ekonomi terbuka membuat kepercayaan pihak barat terhadap prospek ekonomi Indonesia sangat besar dibandingkan dengan banyak LDCs lainnya.
            Proses pembangunan dan perubahan ekonomi semakin cepat setelah sejak paruh pertama sekade 1980-1n,pemerintah mengeluarkan berbagai paket deregulasi[5] yang diwali disektor monneter / perbankan yang dan disektor riil, dengan tujuan utama meningkatkan ekspor nonmigas indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta berkelanjutan. Dengan adanya deregulasi-deregulasi tersebut,sistem perekonomian indonesia secara bertahap mengalami pergeseran dari yang sangat tersentralisasi (pada periode 1970-an) menuju desentralisasi dan peranan sektor swasta semakin besar.
            Akan tetapi,pada tingkat meso[6] dan mikro,pembangunan selama ini boleh dikatakan tidak berhasilbahkan dalam banyak aspek semakin buruk. Jumlah kemiskinan baik absolut maupun relatif masih tinggi dan tingkat kesenjangan ekonomi semakin besar. Bahkan menjelang khir 1990-an kesenjangan cenderung meningkat. Sebagai reaksi pemerintah terhadap kenyataan diatas, khususnya pada repelita ke VI,orientasi kebijakan-kebijakannya mengalami perubahan dari penekanan hanya pada pertumbuhan ke pertumbuhan dengan pemerataan. Untuk mengurangi tingkat kesenjangan dan kemiskinan,pemerintah menjalankan berbagai macam program ,terutama di daerah perdesaan seperti Program Impress Desa Tertinggal (IDT),program keluarga sejahtera,dan program pembinaan usaha kecil.
            Sejak masa orde lama hingga berakhirnya masa orde baru dapat dikatakan indonesia telah mengalami dua orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda,yakni dari ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada zaman rezim soekarno ke ekonomi terbuka berorientasi kapitalis pada masa soeharto. Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat kinerja ekonomi nasional pada masa orde baru menjadi lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan orde lama.
            Pengalaman ini menunjukkan bahwa ada beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik,yaitu sebagai berikut.
1.      Kemauan politik yang kuat
2.      Stabilitas politik dan ekonomi
3.      SDM yang lebih baik
4.      Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat
5.      Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Tetapi selain menghasilkan efek-efek positif,pemerintahan orde baru tetap memiliki cacat. Biaya ekonomi yang tinggi, serta fundamentasl ekonomi yang rapuh. Hal terakhir ini dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda krisis ekonomi besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah  terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997.
3.      Pemerintahan Transisi
pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997,nilai tukar baht Thailand terhadap dollar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan “jual” karena ridak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut. Sehingga apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan bebrapa nega Asia lainnya,awal dari krisis keuangan di Asia. Sejak saat itu,posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Menaggapi perkembangan itu, pada bulan juli 1997  BI melakukan 4 kali intervensi[7] yakni memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi,pengaruhnya tidak banyak. Hari-hari dan bulan selanjutnya kurs rupiah terus melemah ,walaupun sekali-sekali mengalami penguatan beberapa point.
            Sekitar bulan september 1997,nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah buruk, pemerintah orde baru mengambil bebrapa langkah konkret,diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi ketebatasan angggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut. Pada awalnya, pemerintah berusaha untuk menangani masalah krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi setelah menyadari bahwa merosotnya nilai rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri,terlebih lagi karena cadangan dolar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi guna menahan atau mendongkrak kembali nilai tukar rupiah,tanggal 8 oktober 1997 pemerintah indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF[8]. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah thailand,filiphina,dan korea selatan.
            Pada akhir bulan oktober 1997,lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangannya pada indonesia yang mencapai 40 miliar dollar AS,23 miliar di antaranya adalah pertahananan lapis pertama (front-line defence). Sehari setelah pengumuman itu,seiring dengan paket reformasi yang ditentukan IMF, pemerintah indonesia mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yng dinilai tidak sehat. Ini merupakan awal dari kehancuran perekonomian indonesia.
            Paket program pemulihan ekonomi yang disyaratkan IMF pertama kali diluncurkan pada bulan november 1997, bersama pinjaman angsuran pertama senilai 3 miliar dolar AS. Pertama ,diharapkan bahwa dengan disetujuinya paket tersebut oleh pemerintah indonesia, nilai rupiah akan menguat dan stabil kembali.
            Butir-butir dalam kebijaksanaan fiskal selain penegasan tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang ( pengeluaran pemerintah samadengan pendapatannya) , juga meliputi usaha-usaha pengurangan pemerintah, seperti menghilangkan subsidi bbm dan listrik, membatalakan sejumlah proyek infrastruktur besar, serta peningkatan pendapatan pemerintah.
Pemerintah Indonesia tidak melakukan reformasai sesuai dengan kesepakatannya dengan  IMF. Akhirnya, pencairan pinjaman angsuran kedua senilai 3 miliar dolar AS yang seharusnya dilakukan pada bulan maret 1998 terpaksa di undur. Padahal, indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerja sam sepenuhnya dengan IMF, terutama karena 2 hal berikut (Tambunan,1998).
1. Berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korea Selatan, Filipina, dan Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan.
2. Indonesia sangat membutuhkan dolar AS. Pada awal tahun 1998, kebutuhan itu diperkirakan sebesar 22,4 miliar dolar AS atau rata-rata 1,9 miliar dolar AS per bulan.
Setelah gagal dalam pelaksanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan-perundingan baru antara pemerintahan indonesia dengan IMF pada bulan maret 1998bdan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan april 1998. Hasil-hasil perundingan dan kesepakatan dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama “Memorendum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan”
Secara keseluruhan, ada lima memorendum tambahan dalam kesepakatan yang bari ini, yakni sebagai berikut :
1.      Program stabilitasi, dengan tyjuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah hiperinflasi.
2.      Restrukturisasi[9] perbankan, dengan tujuan utam untuk rangka penyehatan sistem perbankan nasional.
3.      Reformasi struktural, yang mana disepakati agenda baru yang mencangkup upaya-upaya yang telah disepakati dalam kesepakatan pertama (15 januari 1998)
4.      Penyelesaian ULN Swasta (Corporate Debt)
5.      Bantuan untuk rakyat kecil
Pertengahan tahun 1998 kesepakatan tentang IMF dibuat lagi memorandum tambahan tentang kebijaksanaan ekonomi dan keuangan.tetapi, strategi meyeluruh stabilisasi dan reformasi ekonomi adalah tetap seperti yang tercantum dalam memprandum kebijaksanaan ekonomi dan keuangan yang ditandatangani pada tanggal 15 januari 1998.
Krisis ekonomi akhirnya juga memunculkan krisis politikm yang diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap 4 mahasiswa Universitas Trisakti kemudian, pada tanggal 14 dan 15 Mei kota jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juga dapat dikatakan paling besar dan paling sadis yang pernah di alami Indonesia setelah kedua pristiwa tersebut gerakan mahasiswa yang sebelumya sudah berlangsung semakin gencar.
Pada awalnya pemerintah yang dipimpin oleh Habibi disebut pemerintah reformasi.akan tetapi setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintah baru ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Mereka juga prang-orang rezim orde baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata bahkan korupsi dan nepotisme (KKN) semakin menjadi-jadi, kerusuhan muncul di mana-mana, dan masalh soeharto tidak terselesaikan. Akhirnya,banyak kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan transisi daripada pemerintahan reformasi.

4.      Pada masa pemerintahan  reformasi
Pada pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilihan umum,yang akhirnya dimenangi oleh partai demokrasi Indonesia prjuangan (PDI-P) dan golkar pada posisi kedua. KH Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden keempat dan megawati adalah wakilnya. Tanggal 20 Oktober menjadi akhir dari pemerintahan transisi,dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering disebut juga pemerintahan reformasi.
Pada awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh presiden Gus Dur masyarakat umum dan kalangan pengusaha serta investor,termasuk investor asing, menaruh harapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan gus dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permaslahan yang ada didalam negeri warisan rezim orde baru, seperti KKN,supremasi hukum,HAM,penembakan tragedi trisakti,semanggi I dan II,peranan abri didalam politik dan masalah disintegrasi.
Dalam hal ekonomi, dibanding tahun sebelum nya (1999), kondisi perekonomian indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB[10] mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia juh lebih baik lagi,dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah, mencerminkan bahwa kondisi mneter didalam negeri sudah mulai stabil.
Gus Dur mulai menunjukan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang kontroversial dan membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung bersifat diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, dengan hal itu menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya adalah dikeluarkannya peringatan resmi kepada Gus Dur lewat memorandum I dan II. Dengan itu Gus Dur terancam akan diturunkan jabatannya, jika usulan percepatan sidang istimewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan gusdur, tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang terselesaikan dengan baik. Bergabai kerusuhan sosial terus berlanjut. Belu lagi demonstrasi buruh semakin genjar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik juga semakin besar. Selain itu, hubungan pemerintah dengan IMF tidak baik.
Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya. Gus Dur dan kabinetnya tidak menunjukkan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsi “once and for all”. Pemerintah Gus Dur cenderung menyederhanakan krisis ekonomi hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU BI, masalah desentralisasi fiskal, masalah restrukturisasi hutang, dan masalah divestasi[11] BCA dan bank Niaga.
Fenomena rumitnya persoalan ekonomi, ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi misalnya, pergerakan indeks harga saham gabungan atau (IHSG) antara 30 maret 2000 hingga 8 maret 2001 menunjukkan tren ekonomi yang negatif. Indikator kedua, adalah pergerkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan interfensi pemerintah. Namun, pada 12 maret 2001 ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot. Pada bulan april 2001, sempat menyentuh Rp. 12.000/ $ AS yang merupakan kurs rupiah terendah. Berdampak negatif terhadap roda perekonomian terutama karena dua hal. Pertama, karena perekonomian Indonesia masih tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua, ULM Indonesia dalam nilai $ AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar. Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang di prediksi dapat menembus dua digit dan cadangan devisa yang padat minggu terakhir maret 2002 menurun dari 29 Milliar $ AS menjadi 28,875 $ AS

5.      Pada masa pemerintahan gotong royong
Setelah presiden Wahid turun, Megawati menjadi presiden yang kelima. Pemerintahan Megawati mewarisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gus Dur. Keterpurukan kondisi ekonomi yang ditinggal Wahid kian terasa jika dilihat dari, perkembangan Indikator lainnya, seperti tingkat suku bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan devisit APBN.
Inflasi yang dihadapi kabinet gotong royong juga sangat berat. Pada tahun 2002 kondisi perekonomian Indonesia sedikit lenih baik daripada tahun 2001, walaupun menjelang akhir 2002 Indonesia digoncang bom Bali. Menurut data BPS yang dikeluarkan pada bulan Februari tahun 2003, pertumbuhan PDB pada tahun 2002 sebesar 3,66%, diatas nilai perkiraan minimum yakni 3,3%, tetapi lebih rendah dari asumsi dalam APBN tahun 2002 yang di revisi menjadi 4% setelah tragedi Bali.
Remdahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Megawati disebabkan antara lain, oleh masih kurang berkembangnya investasi swasta, baik dari dalam negeri (PMDN) maupun luar negeri (PMA). Masih lemahnya investasi terutama disebabkan oleh masih tidak stabilnya kondisi politik dan sosial dan masih belum adanya kepastian hukum di dalam negeri. Kondisi seperti ini membuat para investor dalam negeri menunda keinginanya menanam modalnya di dalam negeri, sementara investor asing mengalihkan modalnya ke negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Cina. Terlebih lagi dengan masuknya Cina sebagai anggota WTO akan lebih banyak menarik investor asing.
Dilihat secara sektoral, pada tahun 2001 hampir semua sektor ekonomi mengalami laju pertumbuhan output yang rendah, sedangkan kondisinya pada tahun 2002 berbeda. Menurut laporan BPS (dikutip dari Kompas, sabtu 16 November 2002) pada triwulan II-2002, hanya satu sektor yang outputnya mengalami pertumbuhan negatif dibandingkan triwulan I-2002 yakni pertambangan dan penggalian dengan -2,62%, sedangkan output di sektor-sektor ekonomi lainnya meningkat dengan laju yang bervariasi: sektor pertanian mencapai 1,62%, sektor listrik, gas, dan air bersih 3,25%, sektor bangunan 0,98%, sektor perdagangan, hotel, dan restoran 0,78% dan sektor keuangan, penyewaan dan jasa perusahaan tumbuh 0,59%.
Secara kumulatif, secara semester pertama 2002, output di sektor pertanian tmbuh 2,34%, sektor industri pengolahan 3,12%, sektor listrik, gas, dan air bersih 6,25%, sektor bangunan 2,02% dan output di sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh 3,55%. Pada triwulan III sektor mengalami pertumbuhan positif (tidak ada data untuk pertambangan), dan laporan terakhir dari BPS (dikeluarkan pada bulan Februari 2003) menunjukkan bahwa sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor listrik, gas dan air bersih tumbuh cukup besar selama tahun 2002.
Dalam hal ekspor, sejak 2000 nilai ekspor non migas Indonesia terus menurun, dari 62,1 Milliar dollar AS (hingga september). Pertumbuhan ekspor barang dan jasa pada triwulan III-2002 hanya sekitar 1,61% dibandingkan triwulan III-2001. Untuk keseluruhan 2002, data terakhir dari BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor barang dan jasa Indonesia sangat kecil, hanya 1,24%. Selama ini Indonesia memang belum merupakan salah satu negara eksportir dunia.
Posisi Indonesia dalam perdagangan duniah jauh di bawah, misalnya Cina, Korea selatan, dan Malaysia. Tahun 2000, pangsa pasar dunia dari ketiga negara tersebut masing-masing 3,9%, 2,7% dan 1,5%, sedangkan ekspor Indonesia hanya menguasai 1,0% pasar dunia. Di pasar Asia, pangsa Indonesia tahun 1999 sekitar 3,5%, dibandingkan Cina 14,0%, Korea Selatan 10,4%, Singapura 8,2%, Malaysia 6,1% dan Thailand 4,2%. Tahun 2001 diperkirakan pasar saham Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti, bahkan merosot.
Melihat indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah, memang kondisi perekonomian Indonesia pada tahun kedua pemerintahan Megawati lebih baik. Kurs tengah rupiah terhadap dollar AS hingga Oktober 2002 mengalami sedikit perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun masih lebih buruk dibandingkan 1998 atau 1999. Memperkuat atau menjaga stabilitas rupiah pada tingkat yang tepat emamng masih akan merupakan salah satu pekerjaan rumah yang tidak gampang bagi pemerintah pada tahun 2003 ini.
Indonesia akan terus mengalami kesulitan dalam mempercepat proses pemulihan. Alasannya sederhana, di satu sisi melemahnya nilai tukar rupiah ternyata tidak terlalu berarti bagi peningkatan ekspor non migas Indonesia, sedangkan disisi lain, biaya pembangunan (dalam rupiah) akan semakin mahal yang disebabkan oleh masih tingginya tingkat ketergantungan kegiatan-kegiatan perekonomian nasional terhadap impor dan ULN.
Akan tetapi, tingkat inflasi tahun 2002 sudah mencapai diatas 10% (dua digit). Akibat kenaikan hatga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif nelfon serta listrik yang sempat diberlakukan pada awal tahun 2003, tingkat inflasi pada tahun 2003, terutama pada bulan-bulan pertama, bisa jauh lebih tinggi dari 10%. Pemerintahan Megawati memang menyadari bahaya yang akan muncul apabila kenaikan inflasi tidak bisa dicegah. Hal itu juga tercerminkan oleh kebijakan dari BI yang menetapkan inflation targeting sebagai tujuan utama dari kebijakan moneternya dalam tahun 2003.
Berbeda dengan pergerakan indeks harga konsumen (HK), tingkat suku bunga tahun 2002 cenderung menurun, walaupun masih tinggi dibandingkan 1999. Memang tidak gampang menjawab pertanyaan, mana yang lebih baik bagi Indonesia dalam kondisi sekarang ini, tingkat suku bunga rendah atau tinggi. Jelas, setiap pilihan ada untung-ruginya, dan ada efeknya bisa jangka pendek atau jangka panjang. Tingkat suku bunga tinggi, di satu pihak memang bisa menambah jumlah tabungan nasional plus peningkatan arus modal asing masuk Indonesia (ceteris paribus), namun di sisi lain, bisa menimbulkan efek “crowding-out” terhadap kegiatan investasi, pada gilirannya bisa berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
IHSG juga cenderung menurun sejak 1999, yang bisa mencerminkan dua hal. Pertama, bisa berarti kurang menariknya perekonomian Indonesia bagi investor-investor atau reaksi sementara terhadap kejadian-kejadian yang cukup membuat para investor ketakutan untuk menanam uang mereka di pasar modal. Kemungkinan pertama tersebut jelas bersifat jangka panjang, sedangkan sikap menahan atau melakukan aksi jual di pasar modal karena adanya kejadian-kejadian, seperti tragedi Bali adalah merupakan suatu gejala jangka pendek (temporary shock).
Kedua, menurun atau rendahnya IHSG juga bisa disebabkan oleh tingginya suku  bunga deposito sehingga menarik lebih banyak modal masyarakat ke sektor perbankan daripada ke pasar modal. Akan tetapi, data dari BEJ tidak mendukung hipotesis kedua ini, yakni perkembangan pasar modal di Indonesia masih lemah atau semakin memburuk tahun 2002 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Karena, kenyataannya adalah bahwa penghimpunan dana publik melaui pasar modal tahun 2002 meningkat cukup signifikan dibanding 2001.
Dalam hal perbankan, dapat dikatakan bahwa sektor perbankan merupakan faktor penghambat terbesar terhadap proses pemulihan ekonomi Indonesia sejak krisis tahun 1997, termasuk pada masa pemerintahan Gotong Royong. Berdasarkn survei yang dilakukan oleh lembaga Political and Economy Consultancy Ltd. (PERC) terhadap perbankan di 14 negara dia Asia Pasifik tahun 2002 (yang dipublikasikan awal Mei 2002), perbankan Indonesia berada di urutan terendah dalam hal standar dan kualitas, dengan indeks 2,06 sedangkan teratas adalah AS dengan indeks 9,3.
Sedangkan menurut lembaga sekuritas Merril Lynch yang juga melakukan survei perbankan di sejumlah negara di Asia sama (yakni India, Hong Kong, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand) pada tahun yang sama, perbankan Indonesia yang masih buruk, tetapi tidak palingrawan jika dibandingkan peningkatan peningkatan aset tertimbang menurut jenis resiko, terutama dengan mulai pulihnya aktivitas penyaluran kredit perbankan di kawasan yang disurvei.
Bagaimana prospek ekonomi Indonesia tahun 2003 di bawah pemerintahan Megawati? Sudah banyak lembaga-lembaga penelitian, keuangan, dan lainnya, baik di dalam negeri (seperti BPS, LP3E-Kadin Indonesia, dan BI) maupun di luar negeri (Bank Dunia, IMF, dan ADB) yang membuat perkiraan ekonomi Indonesia tahun 2003. ADBdalam publikasi ADO 2002 bulan April 2002 memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2003 hanya sekitar 3,6%, sedangkan laju pertumbuhan di negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam diperkirakan masing-masing 6,1%; 6,1%; 5,8%; 4,5%; 6,5%; 3,0%; dan 6,8%. Namun, dalam publikasi ADO 2002 update bulan sepetember 2002, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi lebih baik, yakni 4,4%.
Perkiraan yang lebih optimis ini didasarkan pada tanda-tanda membaiknya pasar global selama pertengah tahun 2002 dan konsumsi dalam negeri (swasta dan pemerintah) yang cenderung meningkat terus. Dalam laporan yang direvisi ini, ekspor Indonesia pada tahu  2003 diperkirakan akan terus membaik, terutama karena harga minyak di pasar Internasional diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Tentu perkiraan optimistik ADB ini belum memperhitungkan dampak dari tragedi Bali seeta pasca perang Irak atau krisis Korea jika memburuk.
Sedangkan menurut perkiraan IMF, pertumbuhan PDB rill Indonesia tahun 2003 cukup optimis, yakni sebesar 4,5% (naik dari perkiraan sebelumnya pada tahu 2002 sebesar 3,5%). Namun, dibandingkan negara-negara nlainnya di Asia, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak termasuk yang paling tinggi.
Dari pihak Indonesia, pemerintah sendiri menargetkan 4%, setelah direvisi dari target semula 5% dalam rencana APBN (RAPBN) 2003, setelah bom Bali. Menurut BPS, pada triwulan I dan II tahun  2003 dampak peledakan bom din Bali masih akan terasa. Namun, kalau pemerintah melakukan banyak stimulus (termasuk penambahan anggaran pembangunan dalam RAPBN 2003 pasca bom Bali) untuk meningkatkan kegiatan-kegiatan ekonomi domestik dan ekspor ditambah lagi dengan situasi dalam negeri bisa benar-benar kondusif, aman, dan ada kepastian hukum/ usaha yang membuat iklim investasi baik dan lingkungan eksternal mendukung sepenuhnya, maka bukan tidak mungkin target disebut bisa tercapai.
BPS sendiri memprediksi perekonomian Indonesia tahun 2003 bisa tumbuh antara 4%-5%. Sedangkan, BI memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2003 akan sekitar 3,8% sampai 4,3% dengan memperhitungkan dampak pasca bom Bali, dan IBII (2002) memprediksi pertumbuhan PDB rill Indonesia tahun 2003 tidak lebih dari 4%, yang terutaama dikarenakan pertumbuhan konsumsi pemerintah yang diperkirakan paling tinggi diantara komponen-komponen permintaan agregat.










Daftar Pustaka

Tambunan T.H,2003,perekonomian indonesia beberapa masalah penting,jakarta,ghalia Indonesia
Booth anne,McCawley Peter,1990,ekonomi orde baru,petaling jaya selangor Malaysia,lembaga penelitian pendidikan dan penerangan ekonomi dan sosial
Lindblad J thomas,2002,fondasi historis ekonomi Indonesia,Yogyakarta,pusat studi sosial asia tenggara UGM
www.wikipedia.com




[1] Stagflasi               :menurunnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran,yang sering terjadi pada masa resesi (kemerosotan) yang mana terjadi secara bersamaan.
[2] Unfikasi                : penyatuan, hal yang menjadi seragam
[3] Konsorsium         :  pembiyaan bersama suatu proyek atau perusahaan yang dilakukan oleh dua atau lebih bank atau lembaga keuangan.
[4]  LDCs                    :  kelompok-kelompok negara berkembang
[5] Deregulasi           : aturan /sistem (sistem yang mengatur),tindakan atau proses menghilangkan atau mengurangi segala aturan.
[6] Meso                    : kebijakan ekonomi yang ditujukan pada wilayah tertentu.
[7] Intervensi            : campur tangan yang berlebihan dalam urusan politik,ekonomi,sosial,dan budaya. Sehingga negara yang melakukan intervensi sering dibenci oleh negara-negara lainnya.
[8] IMF       :  international monetary fund adalah organisasi internasional yang bertanggung jawab dalam mengatu sistem finansial global
[9] Restrukturisasi   :
[10] PDB                     : produk domestik bruto
[11] Divestasi             : pengurangan beberapa jenis aset baik dalam bentuk finansial atau barang, dapat pula disebut penjualan dari bisnis yang dimiliki oleh perusahaan.


 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »