Merosotnya nilai
tukar rupiah sehingga memasukki fase terburuk sejak krisis financial 2008 tidak
bisa dianggap remeh , Bank Indonesia ( BI ) Selaku otoritas moneter harus melakukan langkah efektif untuk menjaga
mata uang agar tidak terpuruk lebih dalam.
Selain itu karena masalah
nilai tukar juga terkait dengan problem structural
ekonomi , pemerintah mesti ambil bagian dalam upaya menstabilkan kurs, ungkapan
pemerintah dan bank sentral bahwa pelemahan kurs akan meningkatkan daya saing
ekspor seharusnya tidak perlu dilontarkan. Karena itu semua membuat kesan tidak
berdaya otoritas dalam menghadapi turbelensi pasar keuangan saat ini.
Jika ingin memberikan
insentif bagi eksporer , tentu BI dan pemerintah akan membuat pelemahan kurs secara terukur
yang terjadi beberapa hari ini tentu saja jauh dari skema kebijakan tersebut,
kita semua tahu kurs rupiah terpelanting selain factor dari global, juga karena
deficit transaksi berjalan yang selama 12 kuartal berturut-turut kita derita.
Reformasi struktur
dibidang ekonomi harus segara dilakukan untuk menekan deficit transaksi
berjalan, titik solusi dari terus meningkatnya defisit perdagangan terutama dari segi migas, harus segera dicari
, kita gak bisa terus menurus menderita defisit yang disebabkan oleh pemborosan
energy yang tidak terbendung.
Penataan kebijakan industry otomotif pengembangan energi alternative serta
pembatasan konsumsi BBM harus segera direalisasikan, tanpa itu semua neraca
berjalan kita akan terus tertekan deficit
neraca perdagangan di sector migas.
Pendalaman pasar keuangan mesti menjadi agenda terdepan yang
di usung segenap pelaku dan regulator pasar keuangan keterlibatan lebih luas
dari masyarakat akan membuat pasar keuangan bisa lebih stabil dan tahan banting
dengan begitu kita bisa memiliki mata uang yang nilai tukarnya lebih berwibawa.